Sabtu, 20 Desember 2014

Kisah Sahabat Nabi: Abu Thalhah Al-Anshari, Syahid di Atas Kapal

Abu Thalhah berniat melamar Ummu Sulaim sebagai istrinya, ia pun pergi ke rumah wanita Muslimah baik-baik yang telah menjanda itu. Sesampai di rumah Ummu Sulaim, Abu Thalhah diterima dengan baik. Putra Ummu Sulaim, Anas, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim.

Namun Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah. "Sesungguhnya pria seperti anda, hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi saya tidak akan kawin dengan anda, karena anda kafir," ujarnya.

"Demi Allah, apakah yang menghalangimu untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?" tanya Abu Thalhah.

Ummu Sulaim menjawab, "Saksikanlah, hai Abu Thalhah. Aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika kau masuk agama Islam, aku rela menjadi suamimu tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku."

"Siapa yang harus mengislamkanku?" tanya Abu Thalhah.

"Aku bisa."

"Bagaimana caranya?"

"Tidak sulit," kata Ummu Sulaim. "Ucapkan saja dua kalimah syahadat. Tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Setelah itu, kau harus pulang ke rumahmu dan menghancurkan berhala sembahanmu lalu kau buang!"

Abu Thalhah tampak gembira. Ia kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat. Setelah itu ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar, agama Islam.

Mendengar berita ini, kaum Muslimin berkata, "Belum pernah kami dengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya masuk Islam."

Sejak hari itu, Abu Thalhah berada di bawah naungan Islam. Segala daya dan upayanya ia korbankan untuk berkhidmat kepada Islam.

Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk "Kelompok 70" yang bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah di Aqabah. Ia ditunjuk oleh Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari 12 regu yang dibentuk malam itu untuk mengislamkan Yatsrib.

Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam tiap peperangan yang beliau pimpin. Ia mencintai Rasulullah sepenuh hati dan segenap jiwa. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, "Inilah diriku, kujadikan tebusan bagi diri anda, dan wajahku menjadi pengganti wajah anda."

Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum Muslimin terpecah-belah dan lari tunggang-langgang. Oleh sebab itu, pasukan musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat Rasulullah. Musuh berhasil mencederai beliau, mematahkan gigi, dan melukai bibirnya. Sehingga darah mengalir membahasi wajah Nabi. Lalu kaum musyrikin menyebarkan isu bahwa Rasulullah telah wafat.

Mendengar teriakan kaum musyrikin itu, kaum Muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda meninggalkan Rasulullah. Hanya segelintir orang yang saja yang bertahan, mengawal dan melindungi beliau. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.

Abu Thalhah juga sosok Muslim yang pemurah, ia kerap mengorbankan harta bendanya untuk agama Allah. Ia juga sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan ia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah. Kurang lebih 30 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, dia senantiasa berpuasa, kecuali di hari raya. Umurnya mencapai usia lanjut, namun ketuaan tidak menghalanginya untuk berjihad di jalan Allah.

Pada masa Khalifah Utsman, kaum Muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah pun bersiap-siap hendak turut berjihad dengan kaum Muslimin. Anak-anaknya protes. "Wahai ayah, engkau sudah tua, engkau sudah ikut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama Abu Bakar dan Umar bin Al-Khathab. Kini ayah harus beristirahat, biarlah kami yang berperang untuk ayah," kata mereka.

Abu Thalhah menjawab, "Bukankah Allah telah berfirman: "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS At-Taubah: 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang."

Ia pun ikut berperang. Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal di tengah lautan bersama tentara Muslimin, ia jatuh sakit lalu meninggal dunia. Kaum Muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat pemakaman jenazah Abu Thalhah. Namun setelah enam hari berlayar, barulah mereka menemukan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikit pun. Bahkan ia seperti orang yang sedang tidur nyenyak.

Kisah Sahabat Nabi: Abu Ubaidah bin Jarrah, Orang Kuat yang Terpercaya

Nama lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Wajahnya selalu berseri, matanya bersinar, ramah kepada semua orang, sehingga mereka simpati kepadanya. Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu dan pemalu. Tapi bila menghadapi suatu urusan penting, ia sangat cekatan bagai singa jantan.

Abdullah bin Umar pernah berkata tentang orang-orang yang mulia. "Ada tiga orang Quraiys yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi akhlaknya dan sangat pemalu. Bila berbicara mereka tidak pernah dusta. Dan apabila orang berbicara, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin Jarrah."

Abu Ubaidah termasuk kelompok pertama sahabat yang masuk Islam. Dia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Waktu menemui Rasulullah SAW, dia bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Oleh sebab itu, mereka tercatat sebagai pilar pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.

Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.

Dalam Perang Badar, Abu Ubaidah berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Kemana pun ia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Abu Ubaidah menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan pengejarnya. Ketika si pengejar bertambah dekat, dan merasa posisinya strategis, Abu Ubaidah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.

Siapakah lawan Abu Ubaidah yang sangat beringas itu? Tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri! Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya.

Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman: "Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (QS Al-Mujaadalah: 23)

Ayat di atas tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang mendapatkan gelar "kepercayaan umat Muhammad" ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.

Pada suatu ketika, utusan kaum Nasrani datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Abu Qasim, kirimlah kepada kami seorang sahabat anda yang pintar menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum Muslimin."

"Datanglah sore nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian 'orang kuat yang terpercaya'," kata Rasulullah SAW.

Umar bin Al-Khathab berujar, "Aku ingin tugas itu tidak diserahkan kepada orang lain, karena aku ingin mendapatkan gelar 'orang kuat yang terpercaya'."

Selesai shalat, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Umar sengaja menonjolkan diri agar dilihat Rasulullah. Namun beliau tidak menunjuknya. Ketika melihat Abu Ubaidah, beliau memanggilnya dan berkata, "Pergilah kau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan!"

Abu Ubaidah berangkat bersama para utusan tersebut dengan menyandang gelar "orang kuat yang terpercaya".

Abu Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam tiap peperangan yang beliau pimpin, hingga beliau wafat.

Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Al-Khathab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, "Aku memilihmu dan bersumpah setia, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang paling dipercaya dari umat ini adalah engkau."

Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup—Abu Bakar Ash-Shiddiq. Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia."

Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.

Setelah Abu Bakar wafat, jabatan khalifah pindah ke tangan Umar bin Al-Khathab. Abu Ubaidah selalu dekat dengan Umar dan tidak pernah menolak perintahnya. Pada masa pemerintahan Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara Muslimin menaklukkan wilayah Syam (Suriah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk di bawah kekuasaan Islam, dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia kecil di sebelah utara.

Abu Ubaidah meninggal dunia karena terkena penyakit menular yang mewabah di Syam. Menjelang wafatnya, ia berwasiat kepada seluruh prajuritnya, "Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini."

Kemudian dia menoleh kepada Mu'adz bin Jabal, "Wahai Muadz, sekarang kau yang menjadi imam (panglima)!"

Tak lama kemudian, ruhnya meninggalkan jasad untuk menjumpai Tuhannya.